Jakarta, sorotandemokrasi.com – Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, Ruang Bacarita ID menggelar diskusi daring (dalam jaringan) reflektif bertajuk “Merdeka Belajar di Era Digital: Peluang dan Tantangan”, Minggu (04/05/2025).
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Ruang Bacarita, GOUF Consulting, dan Noosa Academy. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber utama: Miqdad Nizam Fahmi (Noosa Academy), Ardiman Kelihu (peneliti independen), dan Muhar Syahdi Difinubun (SERA Institute). Bertindak selaku moderator dalam diskusi ini adalah Elda Pratiwi (Awardee LPDP Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung).

Diskusi ini menjadi ruang kritis untuk menelaah ulang kebijakan Merdeka Belajar yang digaungkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah Nadiem Makarim ketika itu, terutama dalam konteks Indonesia Timur yang masih menghadapi tantangan struktural, ekologi sosial, dan krisis epistemik.
Irtia Rifda Pawae, selaku pendiri Ruang Bacarita ID dalam sambutannya mengawali diskusi tersebut mengemukakan bahwa konsep Merdeka Belajar terlalu normatif jika tidak dipertemukan dengan realitas sosial yang timpang.
“Digitalisasi pendidikan memang membuka banyak peluang. Tapi kita perlu jujur: di banyak wilayah di Timur Indonesia, yang terjadi adalah ‘Merdeka Belajar’ nyaris tanpa akses, tanpa koneksi, dan tanpa guru. Kita perlu bertanya ulang: siapa sebenarnya yang merdeka, dan siapa yang benar-benar belajar?” ujarnya.
Lebih lanjut, Yana Mustika, dalam sambutannya selaku perwakilan dari GOUF yang merupakan lembaga publisher dan mitra penyelenggara, menyatakan bahwa diskusi ini menunjukkan pentingnya kolaborasi lintas komunitas dalam membangun wacana pendidikan yang progresif dan kontekstual.
“Inisiatif kolaboratif ini penting untuk menumbuhkan ekosistem pendidikan alternatif. Kolaborasi antara GOUF, Ruang Bacarita, dan Noosa Academy membuka ruang diskursif yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi kompleksitas pendidikan hari ini,” tegas Yana
Sementara dalam pemaparannya, Miqdad Nizam Fahmi, selaku narasumber pertama menyoroti bahwa teknologi pendidikan tidak serta-merta menyelesaikan persoalan mendasar pendidikan nasional. Meskipun kita tidak harus memungkiri juga bahwa digitalisasi, terutama AI (artificial intellegence) yang massif saat ini, bisa membantu memperluas akses belajar.
Di sisi lain, Ardiman Kelihu, narasumber selanjutnya yang juga merupakan peneliti sekaligus alumnus Universitas Gajah Mada dengan menyampaikan materi berjudul “Menimbang Ulang Merdeka Belajar, Meneroka Pendidikan di Timur Indonesia” menegaskan terkait romantisme yang dilekatkan kepada Maluku secara berlebihan padahal kontras dengan realitas pembangunan pendidikannya saat ini.

Menurut Ardiman, Merdeka Belajar dapat kehilangan esensi jika hanya menjadi cara lain untuk mengaburkan kegagalan negara dalam memenuhi hak pendidikan secara merata dan bermartabat. Ia juga mengkritik bagaimana kebijakan pendidikan nasional sering kali tidak menyentuh realitas lokal masyarakat Timur Indonesia.
Kemudian, narasumber terakhir Muhar Syahdi Difinubun dengan menyampaikan materinya berjudul “Merdeka Belajar sebagai Sebuah Praktik Pembebasan: Merawat Nalar Lokal, Menantang Kuasa Teknologi,” menyoroti tentang pentingnya mempertahankan nilai-nilai dan sistem pengetahuan lokal di tengah gempuran teknologi yang semakin hegemonik.
“Kita harus waspada terhadap kolonialisme baru dalam bentuk teknologi dan algoritma. Ketika semua hal didikte oleh logika platform digital, maka kearifan lokal bisa tergerus. Padahal, misalnya, di Maluku, kita punya mekanisme lokal atau filosofi seperti Pela Gandong, Masohi, Ain Ni Ain, Kalwedo, dan berbagai sistem pengetahuan yang hidup. Itu juga bagian dari pendidikan,” jelas Muhar.
Diskusi yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan pemuda, pelajar, mahasiswa, guru dan dosen itu ditutup dengan seruan kolektif agar Merdeka Belajar benar-benar berpihak kepada rakyat, mengakui keragaman lokal, dan menjunjung tinggi keadilan epistemik. (red)